2012 : Refleksi Terhadap Nilai Luhur Anak

2012 : Refleksi Terhadap Nilai Luhur Anak
Oleh : Ramawidyafebro W. (Div. Publikasi)

 gambar : internet

Jika kita sedang santai dan duduk di halaman rumah yang dikelilingi oleh pohon-pohon, coba perhatikanlah setiap pohon yang ada. Terkadang pasti ada yang aneh dari salah satu pohon. Yang membuat aneh adalah mengapa daun atau batangnya bisa bergerak? Pasti kita bertanya-tanya apa benar daun atau batangnya itu bisa bergerak?

Kita akan penasaran dan mencoba mendekati pohon tersebut. Setelah kita dekati pohon tersebut ternyata yang bergerak adalah seekor hewan yang berkulit kasar, bentuk badannya seperti kadal, mempunyai buntut yang cukup panjang dan termasuk reptil. Tak salah lagi, dialah bunglon.
Kita semua tahu bahwa reptil ini bisa mengubah warna kulitnya setiap saat dan merupakan hal yang menarik bagi kita. Pasti kalian mulai bertanya-tanya apa hubungannya bunglon dengan anak dan nilai-nilai luhur?
Mungkin keistimewaan yang diberikan Tuhan kepadanya adalah hal yang biasa saja. Namun yang menarik adalah kebiasaan yang dilakukan bunglon tersebut hampir sama dengan sikap dan kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan orang, khususnya anak-anak. Kesamaan tersebut terletak pada sering berubah-ubahnya sikap dan tingkah laku kita sebagai anak. Istilah lainnya adalah plin-plan. Hal ini wajar, tapi hati-hati, sebab jika tidak, kita bisa terjerumus ke dalamnya.
 Salah satu contohnya adalah kebiasaan anak bermain yang tak penting juga berbahaya yang terlalu banyak membuang-buang waktu dan seringnya kita ikut-ikutan dengan teman kita. Ini hal biasa atau wajar yang sering kita lakukan sehari-hari. Tapi dampak yang ditimbulkan juga luar biasa. Anak akan terbiasa bermain, terlalu asik bermain maka akan timbul sikap malas dan lupa untuk belajar. Hal ini juga didorong oleh kebiasaan kita mengikuti teman-teman kita. Ini sangat berbahaya bagi masa depan kita sebagai anak.
Kalau sudah begini, maka jelaslah banyaknya tawuran antarpelajar, kebencian tehadap kelompok atau agama, lunturnya sikap musyawarah dan mufakat, saling beradu kekuatan karena ingin menjadi jagoan, peraturan dibuat untuk dilanggar bukan untuk dita’ati, HAM dijadikan tameng bagi penjahat agar tidak ditangkap.
Kalau kita putar balik ke zaman sejarah saat dibentuknya dasar negara yaitu pancasila, kita banyak menemukan sikap-sikap yang sudah jarang ada pada saat ini seperti toleransi, musyawarah, dll.
Sebagai contoh adalah kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini  dikarenakan tingginya toleransi beragama yang ditunjukkan para perumus pancasila akibat adanya salah satu anggota panitia sembilan yang beragama nonmuslim. Mereka saling menghargai bukan saling memusuhi.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan menghormati para pahlawannya. Kita seenaknya berbuat anarkis seperti orang yang lupa terhadap sejarah bahkan kita seperti orang yang merasa tidak mempunyai sejarah dan pahlawan sedikitpun. Bagi para pemuda, tentunya telat jika kita harus menghabiskan waktu untuk tawuran. Sudah bukan zamannya lagi kita berperang atau bertengkar hingga ada yang harus mati. Sekarang buat apa sih sebenarnya kita harus tawuran? Apa yang kita cari dari tawuran tersebut? Kekuatan? Kemenangan? Atau bahkan kematiankah yang dicari?
Tak ada gunanya dan bukan seperti itu caranya jika ingin menyelesaikan suatu masalah. Masih ada cara memaafkan, musyawarah dan cara-cara lain yang lebih gentle dan macho. Sekarang coba kita berpikir, masa cuma gara-gara kesenggol doang atau seseorang lupa permisi lewat di depan kita, kita harus marah sampai main bunuh-bunuhan? Apakah kata maaf sudah lebih mahal harganya dibandingkan emas 24 karat? Atau apakah kata maaf sudah hilang ditelan bumi ini? Coba kita tengok kembali sejarah, bukan hanya sekadar dilihat dan dikagumi. Tapi kita juga harus mempelajari nilai yang tersimpan dalam setiap peristiwa dalam sejarah tersebut.
Para pahlawan dulu mereka tawuran sampai mati di medan perang karena mereka melawan ketidakadilan dari bangsa lain. Lalu kalau kita apakah harus tawuran sampai mati dengan sesama anak Indonesia dan juga sepele masalahnya bahkan belum jelas masalahnya? Ini yang seharusnya kita cepat sadari. Jika tidak, kita akan dengan mudah diadukambing oleh bangsa lain.
Indonesia adalah bangsa yang kuat, ini sudah terbukti dengan diukirnya suatu semboyan Bhineka Tunggal Ika yang digenggam oleh lambang Negara kita yaitu burung garuda yang memiliki sebuah pedoman “Bersatu kita teguh, Bercerai kita runtuh”. Jika masih banyak manusia satu bangsa Indonesia yang saling membenci, bertengkar dan sebagainya saat ini, buat apa semboyan semacam itu harus ada? Apa kita mau itu cuma menjadi tulisan kosong nan tak berarti apa-apa bagi kita? Padahal itu dibuat oleh para orang tua kita.
Tentu kita semua tahu semboyan tersebut memiliki nilai luhur yang cukup tinggi yaitu persatuan. Bahkan kata persatuan sudah terlahir dan menempati loker nomor tiga dalam suatu sumber nilai luhur tertinggi di Indonesia yaitu pancasila. Lalu kenapa nilai-nilai yang sangat luar biasa maknanya dan cukup singkat isinya ini mulai kita tinggalkan?
Meninggalkan nilai-nilai luhur hampir sama halnya dengan kita umat beragama yang meninggalkan ajaran-ajaran, isi-isi, nilai-nilai,dan makna-makna yang terkandung dalam kitab suci kita masing-masing. Hasilnya, kita tak mendapatkan apa-apa bahkan kita akan kehilangan arah dan tujuan untuk hidup. Pedoman dan petunjuk yang tinggal kita baca, hafalkan lalu amalkan ini kenapa kita tinggalkan? Mau berpedoman dengan apalagi kita? Jika sudah tidak suka dan tidak bangga dengan pedoman di Indonesia, ya pindah saja ke negara lain! Kan beres, begitu aja kok repot!
Hei kawan, sudahlah! Sebagai penerus bangsa dan jerih payah para pahlawan, janganlah kita merusak negaranya sendiri dengan tingkah laku yang keluar dari jalur nilai luhur kita!
Kalau bisa para pahlawan yang telah gugur itu hidup kembali, maka kita akan dibunuh oleh mereka. Mereka sudah pasti marah jika negara yang dicintainya diacak-acak kembali oleh para penjajah. Bahkan mereka tambah dengki karena penjajahnya adalah penerusnya sendiri. Mereka yang rela mati agar negaranya bisa maju di kemudian hari, tetapi kita rusak cita-citanya begitu saja. Kalau sikap kita masih seperti anak balita ini, janganlah berharap kita bisa melihat terwujudnya kata-kata R.A. Kartini “habis gelap terbitlah terang”!
Hei, kawan! Janganlah kita jadi preman di negara sendiri kalau orang tua kita meninggal saja kita masih nangis dan cengeng! Kalau mau jadi preman, jadi preman sekalian! Kalau mau jadi orang baik, jadi orang baik sekalian! Tapi kalau mau jadi preman, bukan Indonesia tempatnya!
Kita semua menyadari bahwa menjalankan nilai-nilai luhur memang berat dan bagi yang telah menjalankannya akan timbul perasaan bosan. Kita semua juga ingin hidup yang bebas tanpa aturan. Namun apalah gunanya hidup kalau tak ada peraturan. Kita hendak semaunya saja melaksanakan kegiatan yang kita inginkan padahal kegiatan tersebut sangatlah buruk dan berdampak negatif bagi kehidupan kita.
Kita juga harus sadar, kawan! Kita tidak hidup dengan sendirinya, pasti ada yang menciptakan kita. Dan yang menciptakan kita pasti memiliki peraturan yang harus diikuti walau itu sangat memberatkan kita.
Hei, kawan! Janganlah kita tinggalkan nilai-nilai luhur begitu saja walaupun ada yang namanya Hak Asasi Manusia. Tapi HAM tersebut janganlah dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi kita saja. HAM dibuat tujuannya adalah untuk adanya toleransi antarsesama manusia.
Tidak akan berubah keadaan suatu kaum, kecuali kaum tersebutlah yang mengubah atau memperbaiki keadaannya sendiri. Jadi, percuma saja dikasih ide atau pendapat apapun untuk kembali menanamkan nilai-nilai luhur kita yang telah pudar kalau kita sendiri tidak mau memperbaiki sikap kita untuk mau melaksanakan nilai-nilai luhur tersebut. Dan kita sebagai anak, hendaknya jangan terpengaruh dengan aksi-aksi yang menyimpang dari nilai-nilai luhur yang ada di Indonesia ini.
Hak kita sebagai anak adalah mendapatkan apa yang seharusnya kita dapatkan dan apa yang seharusnya kita lakukan sebagai anak seperti mendapat pendidikan, bermain, bergaul bahkan mendapat perlindungan. Kewajiban kita sebagai anak adalah melaksanakan yang sudah menjadi tugas kita sehari-hari seperti beribadah, belajar hingga membantu orang tua. Cukup simple dan tidak ribet sebenarnya, yang membuat susah adalah diri kita sendiri. Ingat, kawan! Diri kita sendiri.
Maka 2012 adalah momentum yang tepat bagi kita untuk berintrospeksi diri. Berkacalah di hadapannya, dan pikirkanlah, kira-kira sudah sejauh apakah kita meninggalkan nilai-nilai luhur yang sudah diwariskan oleh para leluhur kita?
So, mulai dari sekarang yuk kita tinggalkan aksi-aksi buruk yang menyimpang! Berpegang teguh terhadap nilai-nilai pancasila adalah salah satu kuncinya! Sebab 2012 bukanlah sekadar pergantian tahun, tapi juga waktu untuk merefleksikan diri. Toh, bukankah kita-kita juga penentu masa depan itu sendiri?*

Komentar

Postingan Populer